Minggu, 13 April 2014

Mengapa Pria Sebaiknya Menikah pada Usia 25, Wanita 21?

Penulis : Rosmha Widiyani | Selasa, 18 Maret 2014 | 09:13 WIB
KOMPAS.com – Menikah berarti siap menjadi orangtua tidak sekadar 1-2 tahun, tetapi seumur hidup. Karenanya, untuk menghadapi kondisi tersebut, seseorang memerlukan kesiapan mental yang tangguh. Hal tersebut yang mendasari usia pernikahan minimal 21 tahun bagi wanita, dan 25 tahun bagi pria.

“Usia memang tidak menjadi dasar mutlak kesiapan mental. Namun dengan batas tersebut diharapkan pengalaman dan kesiapan mental lebih baik, dibanding usia yang lebih muda. Selain tentunya kesiapan dari aspek medis,” kata psikolog Ana Surti Ariani dalam kelas parenting New Parents Academy sesi Psikologi Pernikahan, Minggu (16/3/2014).

Siap menjadi orangtua

Bila pasangan menikah sebelum usia 21 dan 25 tahun, Ana menyarankan keduanya menunda memiliki anak. Dengan penundaan tersebut keduanya bisa saling menyusun pola pendidikan untuk anaknya kelak. Keduanya juga bisa menyiapkan mental menghadapi proses tumbuh kembang anak. Selama penundaan, calon orangtua juga bisa menentukan pola pengasuhan yang hendak diterapkan pada anaknya.

Parentingadalah pilihan dan orangtua bisa menentukannya dengan berbagai pertimbangan. Dengan kesiapan mental, diharapkan orangtua tahu bagaimana efek pengasuhan tersebut pada anaknya,” tutur Ana.
 
Bila mengetahui efek penerapan parenting maka orangtua tidak akan asal pilih. Orangtua juga tidak akan menerapkan pengasuhan hanya karena terbiasa. Selanjutnya orangtua akan menerapkan keputusan tersebut dengan benar. Tentunya orangtua juga memasukkan lingkungan sekitar dalam pertimbangan parentingyang dilaksanakan, misal keluarga dan asisten rumah tangga.

Siap berkorban dan lebih percaya diri

Selain memilih pola parenting, kesiapan mental akan membimbing calon orang tua mempersiapkan "pengorbanan" yang harus dilakukan. Misalnya mengorbankan waktu yang tadinya lebih banyak untuk dirinya untuk selalu memprioritaskan anaknya. Kesiapan mental juga menyebabkan orangtua selalu percaya diri dalam mengambil keputusan.
 
“Rasa percaya diri inilah yang menyebabkan orangtua tidak mudah kalah, sehingga tidak mengabulkan apapun yang diminta anak. Hal ini memungkinkan pengasuhan selalu dalam pola yang sudah ditetapkan. Percaya diri sekaligus mencegah orangtua menjadi permisif pada anak,” tutur Ana.

Siap memahami anak

Menjadi orangtua, kata Ana, merupakan keharusan untuk terus belajar dan meningkatkan keterampilan. Keterampilan memungkinkan orangtua selalu bisa berkomunikasi, dan memahami apa yang dirasakan anak.
 
Yang tak kalah penting, kematangan mental memudahkan orangtua menerima pilihan anak ketika dewasa. Meski tak sesuai rencana awal, orangtua tetap harus memastikan anaknya bahagia dengan jalan yang dipilihnya. Dengan cara ini, anak akan bisa menjalani kehidupannya dengan baik ketika beranjak dewasa.
 
“Sampai kapanpun kita adalah orangtua dari seorang anak. Tugas orangtua adalah menyediakan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Selanjutnya orangtua harus berlapang dada menerima keputusan anak, walau tak sesuai harapannya,” kata Ana.
 
from kompas.com

Urgensi Perlindungan Hutan Bakau

Minggu, 13 April 2014 | 21:16 WIB
Sigit Deni Sasmito/CIFOR Kawasan mangrove di Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia.

Oleh Daniel Murdiyarso

KOMPAS.com
- Sejak 1980, Indonesia kehilangan lebih dari seperempat hutan bakaunya. Sisa 3,1 juta hektar tersebar secara acak di sepanjang 55.000 garis pantai, tempat yang cocok untuk bakau.

Hutan pantai unik ini melindungi wilayah garis pantai dari erosi. Bakau juga menyerap lebih banyak karbon atmosfer, penyebab perubahan iklim global. Ironisnya, hutan bakau sangat menderita akibat perubahan iklim, ketika tinggi permukaan laut naik menenggelamkan pohon dan mengubah salinitas pesisir pantai.

Tetapi perubahan iklim bukan musuh utama bakau saat ini. Deforestasi-lah musuh utamanya. Di Indonesia dan seluruh Asia Tenggara, sejumlah wilayah luas hutan bakau digunduli untuk membuat tambak ikan dan udang.

Deforestasi ini memperburuk penyebab perubahan iklim. Diperkirakan bahwa deforestasi bakau menghasilkan 10 persen emisi gas rumah kaca akibat deforestasi secara global, walaupun hanya mencatat 0,7 persen wilayah hutan tropis.

Urgensi hutan bakau bagi wilayah pesisir makin besar tahun lalu, ketika Topan Haiyan menghantam Filipina, menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hanya sedikit hutan bakau tersisa di daerah itu yang sebenarnya berpotensi menjaga terjangan badai.

Walaupun akuakultur yang menggantikan bakau tersebut sebagai sumber utama pemasukan dan penghidupan. Bagaimana negara-negara mendukung sektor ekonomi penting ini tanpa merusak hutan bakau mereka?

Konferensi terbaru digelar Pusat Penelitian Kehutanan Internasional memperdebatkan solusi terhadap ancaman terhadap hutan bakau Indonesia. Peserta konferensi mencari cara untuk menjaga penghasilan masyarakat sekaligus menjaga bakaunya. Rencana seperti itu membutuhkan upaya bersama dari beragam pemangku kepentingan untuk bisa berhasil.

Walaupun di awal konferensi, peserta mengungkapkan kekhawatiran bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia mempertimbangkan mengkonversi sejumlah wilayah hutan bakau untuk meningkatkan produksi akuakultur. Kementerian Kehutanan, kebalikannya, menempatkan strategi berkelanjutan untuk pemanfaatan dan perlindungan hutan bakau, demikian menurut LSM lingkungan Proyek Aksi Bakau.

Untuk membantu meredakan masalah ini, peserta konferensi membicarakan strategi kolaboratif untuk menjamin masyarakat pesisir lokal bisa bernegosiasi dengan badan pemerintah dan pemangku kepentingan lain – sehingga masyarakat bisa lebih terlibat dan memiliki perangkat untuk mendiskusikan masalah ini secara lebih mendalam.

Usulan lain yang didiskusikan adalah pemanfaatan “lansekap mosaik” untuk memperbaiki pesisir pantai terdegradasi. Usulan ini termasuk membangun pembatas pantai dari hutan bakau dan pantai, dengan tambak akuakultur, tempat wisata dan pembangunan lain di belakang zona garis pantai. Sabuk hijau, jelas seorang ilmuwan, akan memperbaiki dan menjaga garis pantai dan membantu produsen udang untuk mendapatkan sertifikasi udang organik.

Beberapa negara di Asia Tenggara kini berinvestasi dalam rehabilitasi bakau, dan terdapat peluang untuk memperkenalkan ko-manajemen, Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) atau skema pembagian keuntungan lain, sebagai insentif nyata untuk semua yang melindungi bakau.

Bagaimanapun, melindungi bakau tidak langsung menarik secara finansial, karena penggunaan lain wilayah bakau (khususnya peternakan udang) seringkali lebih menguntungkan dalam jangka pendek. Sesi diskusi dalam Forests Asia Summit, 5-6 Mei di Jakarta, akan menyoroti contoh upaya lokal mengelola wilayah bakau dan akan mengatasi masalah kelembagaan, teknis dan sosioekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen hutan bakau yang efektif dan berjangka panjang untuk menghadapi perubahan iklim.

Daniel Murdiyarso, Principal Scientist, Center for International Forestry Research (CIFOR)


From Kompas.com

Mars Diduga Pernah Mengalami Banjir

Mars Diduga Pernah Mengalami Banjir

Senin, 14 April 2014 | 07:04 WIB
ESA Osuga Valles

KOMPAS.com -- Mars bukan cuma pernah memiliki air, melainkan juga pernah mengalami banjir.

Badan Antariksa Eropa (ESA) menduga hal tersebut setelah melihat citra wilayah Mars bernama Osuga Valles yang dipotret oleh wahana antariksa Mars Express pada 7 Desember 2013.

Osuga Valles adalah lembah bagian dari jurang Vallis Marineris. Lembah itu membentang sepanjang 164 km.

"Banjir yang katastrofik diduga membentuk Osuga Valles yang mengalami erosi parah dan fitur di dalamnya," demikian dinyatakan ESA.

Berdasarkan alur pada citra hasil tangkapan Mars Express yang sempit dan bercabang serta polanya, ESA memperkirakan arah arus dan kecepatan banjir saat itu.

"Alur di sekitar wilayah serupa kepulauan itu mengindikasikan bahwa arah aliran menuju timur laut," demikian keterangan ESA dalam situs webnya.

"Saluran yang sempit dan bercabang menunjukkan bahwa air pada masa itu bergerak cepat," imbuh ESA di situs webnya, Kamis (10/4/2014).

Mencermati lebih detail citra Mars Express, ESA menduga bahwa adanya pertemuan antar-saluran menunjukkan bahwa wilayah Mars itu mengalami beberapa kali banjir.

Air yang membanjiri wilayah Osuga Valles diduga mengalir dari bagian utara (atas pada gambar) lalu memencar ketika bergerak semakin ke selatan.

Air terus mengalir dan mengerosi wilayah paling selatan (bawah pada gambar). Sampai di wilayah paling selatan, belum bisa diduga apakah air itu mengalir ke perairan bawah permukaan atau danau.


From Kompas.com